Fenomena Live Bullying: Krisis Empati dan Tanggung Jawab Remaja

Estimated read time 6 min read

Dilansir dari media online msn.com, dengan judul “Viral! Aksi Perundungan Pelajar Depok Disiarkan Live, Ibu Korban Menangis: Anak Diperlakukan Seperti Binatang”. Seorang remaja perempuan berusia 15 tahun di Depok menjadi korban perundungan brutal oleh sekelompok teman perempuannya di sebuah rumah di kawasan Beji, yang disiarkan langsung melalui Instagram Live dan ditonton ratusan orang. Aksi kekerasan yang terjadi pada 4 Juli 2025 ini menyebabkan luka fisik dan trauma psikologis mendalam bagi korban. Ibunda korban, RA, melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian dan mendesak penegakan hukum yang tegas terhadap para pelaku. Fenomena “live bullying” mencerminkan krisis empati yang terjadi di kalangan pelajar.

Kasus ini menuai keprihatinan luas karena memperlihatkan penyalahgunaan media sosial oleh remaja serta lemahnya kontrol dan empati di lingkungan pelajar. Psikolog anak, pakar komunikasi digital, hingga aktivis perlindungan anak menyoroti pentingnya pemulihan trauma korban dan perlunya edukasi anti-bullying di sekolah. Pemerintah kota dan pusat pun didesak untuk menyediakan perlindungan, bantuan hukum, serta akses psikologis gratis bagi korban dan memastikan kasus ini ditangani dengan serius sebagai upaya pencegahan kekerasan terhadap anak.

Peristiwa memilukan ini adalah cerminan nyata krisis moral dan empati di kalangan remaja saat ini. Aksi kekerasan yang dilakukan secara berkelompok ini tidak hanya menyebabkan luka fisik, namun lebih dalam lagi, melukai batin korban yang harus menanggung trauma psikologis berat. Dalam Islam, perilaku semacam ini tidak hanya tercela secara sosial, tetapi juga merupakan bentuk kezaliman yang sangat dilarang oleh syariat. Allah berfirman dalam Surah Al-Hujurat ayat 11: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim”

Ayat ini menjadi peringatan keras bagi umat Islam untuk menjauhi segala bentuk penghinaan dan perundungan, karena tindakan tersebut merusak kehormatan dan harga diri sesama manusia. Dalam hadits riwayat Muslim, Rasulullah bersabda: “Setiap Muslim atas Muslim yang lain haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)

Ditegaskan juga pada hadist lain, Rasulullah SAW. bersabda: “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisannya dan tangannya.” (H.R. Bukhari & Muslim). Demikian juga hadist lain Dari Abi Musa ra berkata, “Mereka bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimanakah Islam yang paling afdhal itu?” Beliau menjawab, “Seorang muslim yang menyelamatkan orang muslim lainnya dari bencana akibat perbuatan lidah dan tangannya.” (H.R. Bukhari)

Perundungan, apalagi disiarkan secara langsung, jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap kehormatan dan martabat seseorang. Dalam Islam, kezaliman sekecil apapun akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, terlebih lagi bila menyangkut pelanggaran terhadap hak-hak manusia (huquq al-‘ibad).

Fenomena “live bullying” ini juga menunjukkan betapa bahayanya media sosial jika digunakan tanpa pengawasan dan pendidikan yang tepat. Generasi muda yang seharusnya dibekali dengan nilai-nilai akhlak dan kasih sayang justru menjadikan media sebagai alat untuk menyebarkan kekerasan. Rasulullah telah memberikan teladan akhlak terbaik, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an: “Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)

Solusi terhadap fenomena ini tidak hanya parsial, namun perlu menyentuh seluruh lapisan: keluarga, masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah. Pertama, orang tua harus menjadi pendidik utama yang menanamkan nilai-nilai Islam dan adab dalam penggunaan teknologi kepada anak-anaknya. Orang tua adalah panutan terbesar, perilaku dan akhlak orang tua dilihat, didengar dan diperhatikan oleh anak dan direkam di benak anak, orang tua membentuk adab anak.

Kedua, sekolah dan lembaga pendidikan Islam harus aktif dalam menyelenggarakan program pendidikan karakter yang berorientasi pada akhlakul karimah. Ketiga, pemerintah harus menyediakan payung hukum yang kuat untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan serta menyediakan layanan pemulihan psikologis dan hukum yang mudah diakses oleh korban dan keluarganya.

Secara lebih aplikatif, masyarakat Muslim dapat mendorong pengajian atau halaqah remaja yang membahas isu-isu sosial kekinian seperti etika digital, bahaya perundungan, dan pentingnya empati. Masjid dan komunitas Islam juga dapat mengambil peran sebagai pelindung moral remaja dengan menciptakan ruang aman untuk diskusi, curhat, dan konseling.

Sebagai muslim, kita perlu sadar bahwa membiarkan perundungan terjadi tanpa respon adalah bentuk pembiaran terhadap kezaliman. Dalam hadits sahih riwayat Bukhari, Rasulullah bersabda: “Tolonglah saudaramu, baik dia berbuat zalim maupun yang dizalimi.”. Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami paham bagaimana menolong orang yang dizalimi, tapi bagaimana kami menolong orang yang berbuat zalim?” Beliau menjawab, “Engkau cegah dia atau halangi dia dari berbuat zalim, itulah cara menolongnya.” (HR. Bukhari)

Maka menjadi kewajiban kita bersama, tidak hanya menolong korban, tetapi juga menyadarkan pelaku agar bertobat dan tidak mengulangi perbuatannya. Ditegaskan dalam QS. Al-Qaf ayat 18, Allah SWT. berfirman: “Tidak ada suatu kata pun yang terucap, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” Juga dalam QS. An-Nuur : 24 yang artinya: “pada hari (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”. Ditegaskan dalam QS. Yasiin: 65 artinya: “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan.”

Ini menjadi pengingat tegas bahwa setiap ucapan, perbuatan, bahkan gerak-gerik tubuh manusia tidak pernah luput dari pengawasan dan pencatatan Allah . Kasus perundungan yang disiarkan secara langsung di media sosial, ayat-ayat ini memberikan peringatan mendalam bahwa tindakan kekerasan, baik melalui kata-kata kasar, tangan yang menyakiti, maupun kaki yang mendekat untuk menyaksikan atau ikut serta dalam kezaliman, akan menjadi saksi di hadapan Allah pada hari kiamat.

Lidah yang merendahkan, tangan yang memukul, dan kaki yang mendekat untuk menonton bukanlah anggota tubuh yang pasif; semua akan berbicara dan memberi kesaksian atas perbuatan pemiliknya. Maka, dalam Islam, menjaga anggota tubuh dari maksiat adalah bentuk kesadaran spiritual dan tanggung jawab moral yang tak bisa diabaikan. Kita perlu memahami bahwa segala sesuatu yang kita lakukan, di dunia nyata maupun di dunia maya, akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Peristiwa ini harus menjadi cermin besar bagi masyarakat bahwa krisis empati dan akhlak di kalangan generasi muda tidak boleh dibiarkan. Islam sebagai agama rahmat bagi seluruh alam telah mengajarkan kita untuk menjaga kehormatan, menghormati sesama, dan menghindari segala bentuk kekerasan.

Mari kita bersama, dalam posisi apapun dengan aktivitas apapun berkontribusi terbaik dalam membina generasi agar menjadi pribadi yang beriman, berakhlak mulia, dan bertanggung jawab secara sosial. Lingkungan atau masyarakat tidak berubah oleh mereka yang hanya diam, tetapi oleh mereka yang berani bergerak. Jadilah bukan sekedar penonton, tetapi pendorong dan penggerak perubahan. (ar)

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours