– Kebijakan yang dibuat Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi berimbas besar ke pelaku usaha jasa transportasi wisata.
Para sopir bus pariwisata kini banyak yang nganggur, bahkan alih profesi jadi tukang cangkul dengan gaji Rp 1 juta per bulan.
Yakni setelah kebijakan Larangan Study Tour sekolah ke luar daerah diberlakukan per Mei 2025.
Salah satunya Jaya Slamet (37), sopir bus pariwisata dari Perusahaan Otobus (PO) Bukit Jaya, Kuningan.
Sebelum kebijakan tersebut diberlakukan, Jaya bisa mengantarkan rombongan wisata pelajar ke berbagai daerah di Indonesia.
Dari aktivitas itu, ia mampu menghidupi keluarga tanpa harus mencari kerja tambahan.
“(Dulu) Seminggu bisa tiga kali, sebulan bisa 10 sampai 12 kali jalan antar wisatawan,” ujar Jaya, saat ikut aksi unjuk rasa di depan Gedung Sate, Kota Bandung, (21/7/25) mengutip TribunJabar.id.
Namun kini, pendapatannya anjlok. Jaya yang dibayar per perjalanan sekitar Rp 500 ribu untuk sekali trip ke Yogyakarta, misalnya kini hanya mendapat penghasilan tak sampai Rp 1 juta per bulan.
“Sekarang, sejak ada surat edaran larangan itu paling Rp1 juta juga tidak sampai. Kebanyakan sekarang nganggur, serabutan saja. Di rumah kalau ada yang nyuruh nyangkul ya nyangkul, kadang jadi sopir truk juga,” ungkapnya.
Bagi sopir-sopir bus seperti Jaya yang tidak menerima gaji tetap, larangan tersebut membawa kesulitan ekonomi yang nyata.
Mereka kehilangan sumber penghasilan utama. Banyak yang kini terpaksa bekerja serabutan: dari nyangkul di sawah hingga mengemudi truk secara harian.
Jaya mengatakan, mayoritas pelanggan PO tempat ia bekerja adalah pelajar yang hendak mengikuti kegiatan study tour.
“Kalau enggak ada study tour, ya enggak jalan bus-nya,” katanya.
Menurutnya, dampak kebijakan ini bukan hanya dirasakan oleh perusahaan, tapi juga oleh lapisan paling bawah dalam rantai industri pariwisata: sopir, kernet, dan keluarga mereka.
Gelombang protes dari para pelaku industri pariwisata memuncak pada Senin (21/7/25).
Ribuan sopir, kru bus, dan pelaku usaha lainnya turun ke jalan.
Mereka memarkirkan puluhan bus pariwisata di sepanjang Jalan Diponegoro dan halaman Gedung Sate, Kota Bandung.
Klakson telolet dibunyikan, sebagai bentuk simbolis dari ‘tanda bahaya’ bagi industri mereka.
Setelah konvoi, massa berkumpul di halaman Gedung Sate untuk menyampaikan orasi dari atas mobil komando.
Koordinator aksi, Herdi Sudardja, menyebut kebijakan Dedi Mulyadi telah menyengsarakan banyak orang.
Ia mengatakan, dibanding pandemi Covid-19 sekalipun, dampak larangan study tour lebih menyesakkan.
“Saat itu, meski sektor pariwisata sangat terdampak, tapi ada bantuan dari pemerintah. Berbeda dengan kebijakan Dedi Mulyadi yang tidak memberikan solusi apapun,” ujarnya.
“Tuntutan kita itu hanya satu, cabut larangan Gubernur kegiatan study tour sekolah. Dari sekolah di Jawa Barat ke luar Jawa Barat,” tegasnya.
Herdi mengungkapkan, pelaku usaha sudah beberapa kali mengajukan audiensi resmi kepada Gubernur sejak Mei 2025, namun tak kunjung mendapat tanggapan.
“Kami sudah melakukan beberapa upaya, termasuk audiensi, termasuk para pengusaha dari sektor transportasi pariwisata Jabar, sudah melayangkan surat ke Gubernur pada bulan Mei 2025. Tapi tidak direspon oleh yang bersangkutan,” kata Herdi.
Ia bahkan menilai Gubernur tebang pilih dalam bertemu masyarakat.
“Gubernur Jabar ini sepertinya ingin bertemu dan selalu memilih oligarki. Dengan si A, si B, katakanlah mau bertemu, tapi dengan pengusaha dari sektor pariwisata tidak mau bertemu,” ucapnya.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi akhirnya angkat bicara merespons aksi unjuk rasa tersebut.
Melalui akun Instagram pribadinya @dedimulyadi71, ia menegaskan tidak akan mencabut larangan study tour ke luar daerah.
Menurut Dedi, unjuk rasa tersebut justru membuktikan kegiatan study tour selama ini lebih bersifat wisata hiburan ketimbang edukasi.
“Dengan adanya demonstrasi itu, semakin jelas study tour sebenarnya hanyalah kegiatan piknik atau rekreasi. Buktinya, yang demo kemarin adalah para pelaku usaha pariwisata,” ujar Dedi dalam unggahan Instagramnya, (22/7/25).
Ia menjelaskan peserta aksi terdiri dari pemilik travel, sopir bus, hingga pengusaha transportasi wisata.
Bahkan, menurutnya, dukungan terhadap aksi tersebut juga datang dari pelaku pariwisata di Yogyakarta, termasuk penyedia jasa jeep di kawasan Merapi.
Dedi menegaskan kebijakan ini dikeluarkan untuk melindungi siswa dan orang tua dari beban ekonomi akibat ‘kewajiban’ ikut study tour, yang kerap disamarkan sebagai kegiatan edukasi.
+ There are no comments
Add yours